BlankOn: Akses Universal

Posting Komentar

BlankOn: Akses Universal

Memanfaatkan Assistive Technologies Untuk Tunanetra

Saya suka membaca buku-buku kesenian, apalagi cerita-cerita wayang. Saya suka wayang. –Nanang, Penyandang Low Vision, peserta pelatihan dari Ponorogo.

Latar Belakang

Membaca tidak hanya untuk orang yang mempunyai penglihatan yang baik. Tuna netra dan pemilik penglihatan  yang rendah (low vision) juga berhak untuk membaca. Hasil survei Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2004 menjelaskan jumlah penderita buta total mencapai 45 juta orang di dunia dan 15 juta ada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia adalah negara yang mempunyai penyandang buta tertinggi di Asia, 1,5 % atau 3,3 juta jiwa penduduk Indonesia tuna netra. Dalam sektor pendidikan, tuna netra juga menjadi golongan yang tertinggal.

Membaca bagi penyandang tuna netra tak hanya dengan huruf braille, tetapi dengan mendengar suara juga digolongkan sebagi membaca. Dalam dunia tekhnologi informasi, penyandang tuna netra bisa membaca tulisan di komputer dengan cara menggunakan pembaca layar (screen reader). Tulisan yang ada di layar komputer diwujudkan dalam bentuk suara, sehingga penyandang tuna netra bisa mengetahui tulisan yang ada di layar komputer.

Permasalahan utama yang ada di Indonesia adalah keterbatasan penyandang tuna netra dalam peningkatan kemampuan di bidang Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai upaya meningkatkan kemampuan membaca untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Penyebabnya adalah secara umum penyandang tuna netra tidak mempunyai biaya untuk pendidikan sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk menggunakan komputer, minimnya tekhnologi khusus untuk tuna netra, harga perangkat lunak khusus tuna netra mahal dan terbatas, serta minimnya lembaga pelatihan khusus TIK untuk tuna netra.

Solusi cerdasnya adalah menggunakan free/open source software yang secara bebas bisa digunakan untuk penyandang buta total dan low vision. Yaitu software yang mempunyai kemampuan screen reader (pembaca layar) dan layar yang berstandar aksebilitas untuk tuna netra yang mempunyai low vision.

Data departemen kesehatan Indonesia  menunjukkan jumlah  penyandang tuna netra di Indonesia terbanyak di seluruh wilayah Asia. Jumlahnya sekitar, 3,3 juta atau 1,5 % dari jumlah penduduk Indonesia.

Penyandang tuna netra belum mendapatkan kesetaraan dengan orang normal di Indonesia. Banyak akses yang belum sepenuhnya terbuka untuk para tuna netra termasuk pendidikan. Di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), penyandang tuna netra juga menjadi bagian yang tertinggal. Data dari Yayasan Mitra Netra, penyandang tuna netra yang bisa menggunakan komputer hanya 300 orang, hanya sekitar 1% dari total penyandang tuna netra.

Padahal seharusnya penyandang tuna netra bisa menggunakan TIK untuk memperluas wawasan pengetahuan, termasuk membaca. Program pembaca layar (screen reader) bisa digunakan penyandang tuna netra melakukan aktivitas dengan komputer. Antara lain membaca buku elekronik, browsing di internet untuk mencari informasi penting, menulis dengan menggunakan word processor, menerima dan mengirim email dan aplikasi lainnya. Kendala  yang ada adalah screen reader yang tersedia merupakan program proprietary yang berharga mahal dan penggunaannya dibatasi pada beberapa komputer atau tidak bebas didistribusikan ke komputer yang lain.

Permasalahan lainnya adalah screen reader dirancang untuk bahasa Inggris ini membuat tuna netra Indonesia yang menggunakan program ini mengalamai kesulitan. Terutama pada pengenalan suara yang tidak sesuai dengan pengucapan dalam bahasa Indonesia. Persoalan-persoalan itu membuat para tuna netra  menjadi salah satu golongan yang tertinggal di TIK.

Pengembangan software untuk membantu kaum tuna netra sudah dilakukan oleh beberapa institusi sejak tahun 1990-an.  Contohnya adalah aplikasi text to speech IndoTTS yang dikembangkan oleh Arry Akhmad Arman dari Institut Tekhnologi Bandung, Distribusi GNU/Linux berbasis Debian dikembangkan oleh Debi Praharadika dan Eko Wahyu Susilo mahasiswa Institut Tekhnologi Surabaya. Pengembangan software tersebut masih terus berjalan. Lahirnya free/open source software merupakan kesempatan besar untuk membuat sebuah softaware khusus untuk penyandang tuna netra. Karena free/open source software menawarkan pengembangan yang tidak terbatas.

Tujuan jangka panjangnya adalah para tuna netra mampu menggunakan komputer / TIK untuk menambah pengetahuan. Penyandang tuna netra akan lebih mudah untuk belajar dan menggunakan komputer serta mampu mengakses informasi. Dengan penggunaan free/open source software maka distribusi bisa lebih cepat dan semakin banyak tuna netra yang dapat menggunakan komputer dan mengembangkan kemampuannya.

Kenapa Pilihan Jatuh Pada FOSS

Pertama, penggunaan TIK hampir di banyak aspek kehidupan, karena sifatnya yang mudah, cepat serta akses informasi yang luas. Dengan TIK, penyandang tuna netra bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya mereka lakukan dengan manual. TIK berbasis komputer dan internet membuat para penyandang tuna netra untuk mempunyai akses ke dunia luar. Seperti menulis, membaca dan berkomunikasi dengan dengan menggunakan media internet.

Kedua, Filosofi dari free/open source software adalah kemerdekaan untuk menggunakan, mendistribusikan, mempelajari dan memodifikasi software. Dengan menggunakan free/open source software, diharapkan semakin memperluas pengguna TIK pada kalangan tuna netra. Bisa menekan biaya pembelian lisensi software sampai dengan nol rupiah, sehingga para tuna netra yang sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan bisa menggunakannya. Dengan demikian free/open source software  bisa memacu penyandang tuna netra untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengembangkan kemampuannya.

Ketiga, free/open source software terus dikembangkan oleh banyak pihak karena source code-nya yang terbuka. Sehingga software akan terus berkelanjutan dan bisa digabungkan dengan banyak hal yang berkaitan dengan penyandang tuna netra, misalnya bundling buku-buku braille ke software offline. Atau buku yang dipindai langsung bisa terbaca di layar komputer.

Lebih Tepat Menggunakan BlankOn

Untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri, tuna netra harus menggunakan teknologi alternatif yang memanfaatkan indera mereka yang lain.

Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan. Sejalan dengan hal ini, untuk memungkinkan orang tunanetra mengakses computer, teknik alternative yang telah dikembangkan adalah yang memanfaatkan speech technology dan refreshable Braille display.

Speech technology merupakan teknologi teks to speech. Membaca teks yang ada di layar menjadi suara (screen reader). Screen reader ini menjadi satu dalam sistem operasi. Speech technology terdiri dari dua bagian utama yaitu synthesizer yang merubah teks ke dalam suara dan screen reader yang memungkinkan pengguna komputer menavigasi layer sesuai dengan kebutuhannya.

Sekarang banyak speech technology yang digunakan. Seperti JAWS, WindowEyes, Keynote (propiertary) dan IndoTTS, Espeak, Orca, gnopernicus yang sifatnya open source dan beberapa software yang lain.

Orca adalah aplikasi yang fleksibel, dan handal untuk teknologi assistive bagi penyandang tuna netra. Menggunakan kombinasi berbagai sintesis, braile dan pembesaran. Orca membantu memberikan akses ke aplikasi dan toolkit yang mendukung AT-SPI (misalnya, GNOME desktop).

Espeak merupakan aplikasi sintesis membaca teks menjadi suara yang bisa diintegrasikan dengan Orca. Espeak memanfaatkan suara dari komputer dengan membedakan karakter pada frekuensi, sehingga tidak memerlukan ukuran database yang besar dan input suara manusia. Espeak telah dikembangkan lebih dari 40 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Orca dan Espeak secara umum telah terintegrasi pada distribusi (distro) GNU/Linux yang menggunakan Gnome pada desktop environment. Seperti Ubuntu, Fedora, BlankOn Standart, Debian dan lain-lain.

BlankOn sebagai hasil karya dalam negeri (anak bangsa) dikembangkan oleh pengembang BlankOn (komunitas Ubuntu-ID) dari seluruh penjuru nusantara. Memiliki kekhasan nusantara, dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai default sistem setting bahasa.

Fitur BlankOn 4.0.1

Menggunakan basis Ubuntu 8.10 dengan ribuan perangkat lunak yang tersedia pada repositori dalam jaringan.  Linux kernel 2.6.27, GNOME 2.24, Orca, Espeak, OpenOffice.org 2.4.1, Teks Editor, Rhythmbox., Firefox 3, Evolution, Pidgin, dll. Antarmuka pengguna yang menggunakan Bahasa Indonesia. Dukungan multimedia yang lebih baik, dapat langsung memutar mp3 dan DVD.

BlankOn dikembangkan secara terbuka dan bersama-sama untuk menghasilkan distro Linux khas Indonesia, khususnya untuk dunia pendidikan, perkantoran dan pemerintahan.

Kelebihan dari BlankOn adalah antarmuka pengguna yang menggunakan Bahasa Indonesia. Kelebihan ini memudahkan bagi pengguna tuna netra untuk mengeksplorasi desktop. Dengan ditunjang espeak berbahasa Indonesia, maka karakter pengucapan pas dan tepat dengan antar muka BlankOn yang menggunakan bahasa Indonesia.

Tuna netra juga bisa melakukan komunikasi menggunakan media internet dengan memanfaatkan fitur-fitur yang telah tersedia di BlankOn. Pidgin untuk komunikasi menggunakan messenger, Firefox untuk mencari informasi penting, Evolution untuk komunikasi electronic mail.

Seperti halnya dengan orang normal. Maka tuna netra juga mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan komputer sepertu untuk membuat dokumen, laporan keuangan, presentasi (openoffice, teks editor). Fitur ini juga tersedia di BlankOn.

Akhirnya …

GNU/Linux BlankOn (espeak dan orca) sebagai software yang terbuka mempunyai nilai manfaat yang mulia sebagai alat bantu bagi para tunanetra untuk menggunakan komputer dalam aktivitasnya. Membuka dan memudahkan akses tuna netra dalam mencari informasi untuk mengembangkan kemampuan.

Saya suka membaca buku-buku kesenian, apalagi cerita-cerita wayang. Saya suka wayang. –Nanang, Penyandang Low Vision, peserta pelatihan dari Ponorogo.

Latar Belakang

Universal Access

Universal Access

Membaca tidak hanya untuk orang yang mempunyai penglihatan yang baik. Tuna netra dan pemilik penglihatan  yang rendah (low vision) juga berhak untuk membaca. Hasil survei Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2004 menjelaskan jumlah penderita buta total mencapai 45 juta orang di dunia dan 15 juta ada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia adalah negara yang mempunyai penyandang buta tertinggi di Asia, 1,5 % atau 3,3 juta jiwa penduduk Indonesia tuna netra. Dalam sektor pendidikan, tuna netra juga menjadi golongan yang tertinggal.

Membaca bagi penyandang tuna netra tak hanya dengan huruf braille, tetapi dengan mendengar suara juga digolongkan sebagi membaca. Dalam dunia tekhnologi informasi, penyandang tuna netra bisa membaca tulisan di komputer dengan cara menggunakan pembaca layar (screen reader). Tulisan yang ada di layar komputer diwujudkan dalam bentuk suara, sehingga penyandang tuna netra bisa mengetahui tulisan yang ada di layar komputer.

Permasalahan utama yang ada di Indonesia adalah keterbatasan penyandang tuna netra dalam peningkatan kemampuan di bidang Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai upaya meningkatkan kemampuan membaca untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Penyebabnya adalah secara umum penyandang tuna netra tidak mempunyai biaya untuk pendidikan sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk menggunakan komputer, minimnya tekhnologi khusus untuk tuna netra, harga perangkat lunak khusus tuna netra mahal dan terbatas, serta minimnya lembaga pelatihan khusus TIK untuk tuna netra.

Solusi cerdasnya adalah menggunakan free/open source software yang secara bebas bisa digunakan untuk penyandang buta total dan low vision. Yaitu software yang mempunyai kemampuan screen reader (pembaca layar) dan layar yang berstandar aksebilitas untuk tuna netra yang mempunyai low vision.

Data departemen kesehatan Indonesia  menunjukkan jumlah  penyandang tuna netra di Indonesia terbanyak di seluruh wilayah Asia. Jumlahnya sekitar, 3,3 juta atau 1,5 % dari jumlah penduduk Indonesia.

Penyandang tuna netra belum mendapatkan kesetaraan dengan orang normal di Indonesia. Banyak akses yang belum sepenuhnya terbuka untuk para tuna netra termasuk pendidikan. Di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), penyandang tuna netra juga menjadi bagian yang tertinggal. Data dari Yayasan Mitra Netra, penyandang tuna netra yang bisa menggunakan komputer hanya 300 orang, hanya sekitar 1% dari total penyandang tuna netra.

Padahal seharusnya penyandang tuna netra bisa menggunakan TIK untuk memperluas wawasan pengetahuan, termasuk membaca. Program pembaca layar (screen reader) bisa digunakan penyandang tuna netra melakukan aktivitas dengan komputer. Antara lain membaca buku elekronik, browsing di internet untuk mencari informasi penting, menulis dengan menggunakan word processor, menerima dan mengirim email dan aplikasi lainnya. Kendala  yang ada adalah screen reader yang tersedia merupakan program proprietary yang berharga mahal dan penggunaannya dibatasi pada beberapa komputer atau tidak bebas didistribusikan ke komputer yang lain.

Permasalahan lainnya adalah screen reader dirancang untuk bahasa Inggris ini membuat tuna netra Indonesia yang menggunakan program ini mengalamai kesulitan. Terutama pada pengenalan suara yang tidak sesuai dengan pengucapan dalam bahasa Indonesia. Persoalan-persoalan itu membuat para tuna netra  menjadi salah satu golongan yang tertinggal di TIK.

Pengembangan software untuk membantu kaum tuna netra sudah dilakukan oleh beberapa institusi sejak tahun 1990-an.  Contohnya adalah aplikasi text to speech IndoTTS yang dikembangkan oleh Arry Akhmad Arman dari Institut Tekhnologi Bandung, Distribusi GNU/Linux berbasis Debian dikembangkan oleh Debi Praharadika dan Eko Wahyu Susilo mahasiswa Institut Tekhnologi Surabaya. Pengembangan software tersebut masih terus berjalan. Lahirnya free/open source software merupakan kesempatan besar untuk membuat sebuah softaware khusus untuk penyandang tuna netra. Karena free/open source software menawarkan pengembangan yang tidak terbatas.

Tujuan jangka panjangnya adalah para tuna netra mampu menggunakan komputer / TIK untuk menambah pengetahuan. Penyandang tuna netra akan lebih mudah untuk belajar dan menggunakan komputer serta mampu mengakses informasi. Dengan penggunaan free/open source software maka distribusi bisa lebih cepat dan semakin banyak tuna netra yang dapat menggunakan komputer dan mengembangkan kemampuannya.

Kenapa Pilihan Jatuh Pada FOSS

FS VS OS

FS VS OS

Pertama, penggunaan TIK hampir di banyak aspek kehidupan, karena sifatnya yang mudah, cepat serta akses informasi yang luas. Dengan TIK, penyandang tuna netra bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya mereka lakukan dengan manual. TIK berbasis komputer dan internet membuat para penyandang tuna netra untuk mempunyai akses ke dunia luar. Seperti menulis, membaca dan berkomunikasi dengan dengan menggunakan media internet.

Kedua, Filosofi dari free/open source software adalah kemerdekaan untuk menggunakan, mendistribusikan, mempelajari dan memodifikasi software. Dengan menggunakan free/open source software, diharapkan semakin memperluas pengguna TIK pada kalangan tuna netra. Bisa menekan biaya pembelian lisensi software sampai dengan nol rupiah, sehingga para tuna netra yang sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan bisa menggunakannya. Dengan demikian free/open source software  bisa memacu penyandang tuna netra untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengembangkan kemampuannya.

Ketiga, free/open source software terus dikembangkan oleh banyak pihak karena source code-nya yang terbuka. Sehingga software akan terus berkelanjutan dan bisa digabungkan dengan banyak hal yang berkaitan dengan penyandang tuna netra, misalnya bundling buku-buku braille ke software offline. Atau buku yang dipindai langsung bisa terbaca di layar komputer.

Lebih Tepat Menggunakan BlankOn

BlankOn Linux

BlankOn Linux

Untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri, tuna netra harus menggunakan teknologi alternatif yang memanfaatkan indera mereka yang lain.

Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan. Sejalan dengan hal ini, untuk memungkinkan orang tunanetra mengakses computer, teknik alternative yang telah dikembangkan adalah yang memanfaatkan speech technology dan refreshable Braille display.

Speech technology merupakan teknologi teks to speech. Membaca teks yang ada di layar menjadi suara (screen reader). Screen reader ini menjadi satu dalam sistem operasi. Speech technology terdiri dari dua bagian utama yaitu synthesizer yang merubah teks ke dalam suara dan screen reader yang memungkinkan pengguna komputer menavigasi layer sesuai dengan kebutuhannya.

Sekarang banyak speech technology yang digunakan. Seperti JAWS, WindowEyes, Keynote (propiertary) dan IndoTTS, Espeak, Orca, gnopernicus yang sifatnya open source dan beberapa software yang lain.

Orca adalah aplikasi yang fleksibel, dan handal untuk teknologi assistive bagi penyandang tuna netra. Menggunakan kombinasi berbagai sintesis, braile dan pembesaran. Orca membantu memberikan akses ke aplikasi dan toolkit yang mendukung AT-SPI (misalnya, GNOME desktop).

Espeak merupakan aplikasi sintesis membaca teks menjadi suara yang bisa diintegrasikan dengan Orca. Espeak memanfaatkan suara dari komputer dengan membedakan karakter pada frekuensi, sehingga tidak memerlukan ukuran database yang besar dan input suara manusia. Espeak telah dikembangkan lebih dari 40 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Orca dan Espeak secara umum telah terintegrasi pada distribusi (distro) GNU/Linux yang menggunakan Gnome pada desktop environment. Seperti Ubuntu, Fedora, BlankOn Standart, Debian dan lain-lain.

BlankOn sebagai hasil karya dalam negeri (anak bangsa) dikembangkan oleh pengembang BlankOn (komunitas Ubuntu-ID) dari seluruh penjuru nusantara. Memiliki kekhasan nusantara, dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai default sistem setting bahasa.

Fitur BlankOn 4.0.

Menggunakan basis Ubuntu 8.10 dengan ribuan perangkat lunak yang tersedia pada repositori dalam jaringan.  Linux kernel 2.6.27, GNOME 2.24, Orca, Espeak, OpenOffice.org 2.4.1, Teks Editor, Rhythmbox., Firefox 3, Evolution, Pidgin, dll. Antarmuka pengguna yang menggunakan Bahasa Indonesia. Dukungan multimedia yang lebih baik, dapat langsung memutar mp3 dan DVD.

BlankOn dikembangkan secara terbuka dan bersama-sama untuk menghasilkan distro Linux khas Indonesia, khususnya untuk dunia pendidikan, perkantoran dan pemerintahan.

Kelebihan dari BlankOn adalah antarmuka pengguna yang menggunakan Bahasa Indonesia. Kelebihan ini memudahkan bagi pengguna tuna netra untuk mengeksplorasi desktop. Dengan ditunjang espeak berbahasa Indonesia, maka karakter pengucapan pas dan tepat dengan antar muka BlankOn yang menggunakan bahasa Indonesia.

Tuna netra juga bisa melakukan komunikasi menggunakan media internet dengan memanfaatkan fitur-fitur yang telah tersedia di BlankOn. Pidgin untuk komunikasi menggunakan messenger, Firefox untuk mencari informasi penting, Evolution untuk komunikasi electronic mail.

Seperti halnya dengan orang normal. Maka tuna netra juga mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan komputer sepertu untuk membuat dokumen, laporan keuangan, presentasi (openoffice, teks editor). Fitur ini juga tersedia di BlankOn.

Akhirnya …

GNU/Linux BlankOn (espeak dan orca) sebagai software yang terbuka mempunyai nilai manfaat yang mulia sebagai alat bantu bagi para tunanetra untuk menggunakan komputer dalam aktivitasnya. Membuka dan memudahkan akses tuna netra dalam mencari informasi untuk mengembangkan kemampuan.

Related Posts

Posting Komentar