FOSS: Penghematan Devisa di Yogya dan Aceh Tengah

Posting Komentar

FOSS: Penghematan Devisa di Yogya dan Aceh Tengah


Copyleft : Imron Fauzi, Yayasan AirPutih 2009

Hak atas Kekayaan Intelektual diprakarsai oleh rejim perdagangan bebas.  World Intellectual Property Organization (WIPO) menyatakan bahwa perangkat lunak komputer dan sumber kodenya dilindungi oleh hukum yang mengatur tentang hak cipta maupun paten. Sehingga perusahaan perangkat lunak berpemilik (proprietary) merilis produk perangkat lunaknya sedangkan sumber kodenya sebagai rahasia perusahaan.

Sejak sumber kode menjadi rahasia perusahaan, maka akses publik terhadap sumber kode tersebut dibatasi. Tanpa seizin dari pemilik sumber kode, orang lain tidak boleh menggunakan, mempelajari, mendistribusikan bahkan memperbaiki. Business Software Alliance (BSA), perusahaan yang melakukan advokasi terhadap perangkat lunak proprietary melakukan merilis hasil studi mereka Fifth Annual BSA and IDC Global Software, Piracy Study, 2007. Bahwa Negara Indonesia termasuk negara dengan tingkat pembajakan perangkat lunak yang tinggi.

Pelanggaran terhadap penggunaan lisensi perangkat lunak berpemilik bisa berakibat hukum. Di Indonesia, salah satu hukum yang mengatur ketentuan pidana penyalahgunaan perangkat lunak berpemilik pada Bab XIII pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sanksi terberat yang dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah pidana kurungan penjara maksimal selama 7 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.

Sifat masyarakat Indonesia pada dasarnya gotong-royong saling membantu, seperti meminjamkan peralatan (termasuk perangkat lunak) jika orang lain membutuhkan. Kondisi ini semakin terbatasi ketika menggunakan perangkat lunak berpemilik tanpa mengikuti perjanjian pengguna dengan pemilik (end user agreement) atau lisensi yang ditetapkan oleh perusahaan pemilik perangkat lunak. Hal ini disebabkan terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap perkembangan perangkat lunak dewasa ini. Solusinya adalah menggunakan perangkat lunak sebagaimana lisensi yang diberikan oleh pembuat atau pemilik perangkat lunak tersebut. Salah satu bentuk lisensi yang sesuai dengan sifat masyarakat kita adalah General Public License (GPL) yang diusung oleh Free Software Foundation (FSF).

Meskipun sudah ada hukum yang mengatur, namun tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia tetap tinggi. Karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang Hak Kekayaan Intelektual; Pengenalan Indonesia Go Open Source sebagai perangkat lunak open source kepada masyarakat  masih belum berjalan maksimal; Kurangnya persiapan dalam petunjuk migrasi kepada pengguna yang akan migrasi ke perangkat lunak open source; Kurangnya persiapan dalam petunjuk pengembangan perangkat lunak open source; Dukungan bantuan secara teknis masih belum banyak tersedia.

Guna mendorong penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source pemerintah Indonesia meluncurukan gerakan Indonesia, Goes Open Source (IGOS) pada tahun 2004 yang dideklarasi oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Gerakan tersebut berlanjut agar gaung lebih luas di sektor pemerintahan, maka pada Mei 2008 gerakan IGOS kembali didengungkan untuk kali kedua oleh 18 instansi pemerintah. Pemerintah sebagai pelayanan publik Surat edaran dari Kementerian Riset dan Tekhnologi dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara kepada seluruh pimpinan pemerintah daerah di Indonesia pada April 2009 membantu percepatan penggunaan perangkat lunak open source di lingkungan pemerintah.

Pemerintah Kota Yogyakarta, Dinas Sosial Propinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah memberikan respon positif terhadap surat edaran dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Yayasan AirPutih bekerjasama dengan Kementerian Negara Riset dan Tekhnologi, Pusat Pendayagunaan Open Source Software (POSS) Network UGM, Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) Jogja, Pengguna Linux Aceh Tengah (Pelita) dan Combine Resource Institution membantu proses penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source di Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Sosial Propinsi DIY. Kegiatan ini didukung oleh Hivos.

Mulai Januari – Juni 2009 proses penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source dilakukan di Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Sosial Propinsi DIY. Di kantor pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah 82 komputer telah menggunakan perangkat lunak legal berbasis open source, sedangkan di Yogyakarta 110 komputer. Dengan menggunakan perangkat lunak open source Pemerintah Kota Yogyakarta mampu melakukan penghematan devisa negara sampai Rp. 406.931.250,-. Sedangkan Pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah mampu menghemat devisa negara sampai Rp 303.348.750,- (sistem operasi, aplikasi perkantoran dan anti virus). Selain itu mereka juga menghemat uang sebesar Rp 5 Miliar untuk denda penggunaan perangkat lunak bajakan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Hasil di atas baru 5% dengan total komputer yang sudah didata. Proses penggunaan perangkat lunak open source harus terus dilanjutkan setidaknya sampai dengan tahun 2011 seperti surat dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Tantangan yang harus dihadapi adalah sistem birokrasi pemerintahan yang berbelit; Minimnya awearness dan pengetahuan tentang HaKI dari pimpinan kantor dan staf; minimnya pengetahuan tentang tekhnologi komputer para pimpinan kantor dan staf.

Referensi :

1. Fifth Annual BSA and IDC Global Software, Piracy Study, 2007

2. World Intellectual Property Organization (WIPO)

3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

4. Filosofi Free Software, Free Software Foundation

5. Indonesia, Go Open Source (IGOS)

6. Laporan Migrasi di NAD dan DIY

Pengalaman Penggunaan Perangkat Lunak Open Source di NAD dan DIY

Copyleft : Imron Fauzi, Yayasan AirPutih 2009

Hak atas Kekayaan Intelektual diprakarsai oleh rejim perdagangan bebas.  World Intellectual Property Organization (WIPO) menyatakan bahwa perangkat lunak komputer dan sumber kodenya dilindungi oleh hukum yang mengatur tentang hak cipta maupun paten. Sehingga perusahaan perangkat lunak berpemilik (proprietary) merilis produk perangkat lunaknya sedangkan sumber kodenya sebagai rahasia perusahaan.

Sejak sumber kode menjadi rahasia perusahaan, maka akses publik terhadap sumber kode tersebut dibatasi. Tanpa seizin dari pemilik sumber kode, orang lain tidak boleh menggunakan, mempelajari, mendistribusikan bahkan memperbaiki. Business Software Alliance (BSA), perusahaan yang melakukan advokasi terhadap perangkat lunak proprietary melakukan merilis hasil studi mereka Fifth Annual BSA and IDC Global Software, Piracy Study, 2007. Bahwa Negara Indonesia termasuk negara dengan tingkat pembajakan perangkat lunak yang tinggi.

Pelanggaran terhadap penggunaan lisensi perangkat lunak berpemilik bisa berakibat hukum. Di Indonesia, salah satu hukum yang mengatur ketentuan pidana penyalahgunaan perangkat lunak berpemilik pada Bab XIII pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sanksi terberat yang dikenakan terhadap pelanggaran tersebut adalah pidana kurungan penjara maksimal selama 7 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.

Sifat masyarakat Indonesia pada dasarnya gotong-royong saling membantu, seperti meminjamkan peralatan (termasuk perangkat lunak) jika orang lain membutuhkan. Kondisi ini semakin terbatasi ketika menggunakan perangkat lunak berpemilik tanpa mengikuti perjanjian pengguna dengan pemilik (end user agreement) atau lisensi yang ditetapkan oleh perusahaan pemilik perangkat lunak. Hal ini disebabkan terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap perkembangan perangkat lunak dewasa ini. Solusinya adalah menggunakan perangkat lunak sebagaimana lisensi yang diberikan oleh pembuat atau pemilik perangkat lunak tersebut. Salah satu bentuk lisensi yang sesuai dengan sifat masyarakat kita adalah General Public License (GPL) yang diusung oleh Free Software Foundation (FSF).

Meskipun sudah ada hukum yang mengatur, namun tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia tetap tinggi. Karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang Hak Kekayaan Intelektual; Pengenalan Indonesia Go Open Source sebagai perangkat lunak open source kepada masyarakat  masih belum berjalan maksimal; Kurangnya persiapan dalam petunjuk migrasi kepada pengguna yang akan migrasi ke perangkat lunak open source; Kurangnya persiapan dalam petunjuk pengembangan perangkat lunak open source; Dukungan bantuan secara teknis masih belum banyak tersedia.

Guna mendorong penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source pemerintah Indonesia meluncurukan gerakan Indonesia, Goes Open Source (IGOS) pada tahun 2004 yang dideklarasi oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Gerakan tersebut berlanjut agar gaung lebih luas di sektor pemerintahan, maka pada Mei 2008 gerakan IGOS kembali didengungkan untuk kali kedua oleh 18 instansi pemerintah. Pemerintah sebagai pelayanan publik Surat edaran dari Kementerian Riset dan Tekhnologi dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara kepada seluruh pimpinan pemerintah daerah di Indonesia pada April 2009 membantu percepatan penggunaan perangkat lunak open source di lingkungan pemerintah.

Pemerintah Kota Yogyakarta, Dinas Sosial Propinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah memberikan respon positif terhadap surat edaran dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Yayasan AirPutih bekerjasama dengan Kementerian Negara Riset dan Tekhnologi, Pusat Pendayagunaan Open Source Software (POSS) Network UGM, Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) Jogja, Pengguna Linux Aceh Tengah (Pelita) dan Combine Resource Institution membantu proses penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source di Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Sosial Propinsi DIY. Kegiatan ini didukung oleh Hivos.

Mulai Januari – Juni 2009 proses penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source dilakukan di Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Sosial Propinsi DIY. Di kantor pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah 82 komputer telah menggunakan perangkat lunak legal berbasis open source, sedangkan di Yogyakarta 110 komputer. Dengan menggunakan perangkat lunak open source Pemerintah Kota Yogyakarta mampu melakukan penghematan devisa negara sampai Rp. 406.931.250,-. Sedangkan Pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah mampu menghemat devisa negara sampai Rp 303.348.750,- (sistem operasi, aplikasi perkantoran dan anti virus). Dapat menghemat uang negara sebesar Rp 5 Miliar untuk denda penggunaan perangkat lunak bajakan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Hasil di atas baru 5% dengan total komputer yang sudah didata. Proses penggunaan perangkat lunak open source harus terus dilanjutkan setidaknya sampai dengan tahun 2011 seperti surat dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Tantangan yang harus dihadapi adalah sistem birokrasi pemerintahan yang berbelit; Minimnya awearness dan pengetahuan tentang HaKI dari pimpinan kantor dan staf; minimnya pengetahuan tentang tekhnologi komputer para pimpinan kantor dan staf.

Referensi :

1. Fifth Annual BSA and IDC Global Software, Piracy Study, 2007

2. World Intellectual Property Organization (WIPO)

3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

4. Filosofi Free Software, Free Software Foundation

5. Indonesia, Go Open Source (IGOS)

6. Laporan Migrasi di NA

Related Posts

Posting Komentar