Foss the People, Make it Fossible » Blog Archive

Posting Komentar

Perubahan politik sulit tercipta di Malaysia karena pemerintah memiliki kekuatan kontrol di semua lini, tak terkecuali media massa. Pemerintah memiliki hak untuk memberi dan mencabut permit (izin terbit), sehingga isi pemberitaan media massa bisa dikendalikan. Internet adalah satu-satunya media yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah sehingga media ini sering digunakan untuk memublikasikan ide-ide perubahan.

Menurut Farish A. Noor, Profesor Sejarah dan Ilmu Politik dari Nanyang Technical University (NTU), Singapura, internet akan membawa perubahan besar sebab di Malaysia infrastruktur jaringan nirkabel sudah merata hingga ke pelosok-pelosok desa. “Wifi sudah menjangkau ke kampung-kampung sehingga warga bisa akses internet dengan mudah. Pertukaran ide dan diskusi tentang perubahan politik sering dilakukan lewat internet,” jelasnya.

Surat kabar, tabloid, dan majalah masih dikendalikan oleh pemerintah. Setiap tahun pengelola media massa harus memperbaharui izin terbit. Pemerintah sangat getol mencabut izin terbit bagi media yang memberitakan peristiwa-peristiwa yang mengkritik pemerintah.

“Surat kabar yang paling besar oplahnya adalah Utusan Malaysia yang menjadi corong pemerintah. Sementara itu, untuk tabloid yang terkenal adalah Mastika yang berisi tentang berita-berita kriminal, hantu, dan perselingkuhan,” lanjutnya.

Kini Malaysia tengah mengalami puncak ketegangan politik identitas (perkauman). Seluruh partai politik di Malaysia mengusung identitas ras, seperti Melayu, China, dan India. Sekarang ini dominasi dipegang oleh ras Melayu sehingga dalam buku-buku pelajaran di sekolah ras China dan India tidak memiliki peran dalam pembentukan negara-bangsa Malaysia. Politik identitas juga telah maujud dalam sistem permukiman sehingga muncul kompleks permukiman Melayu, China, dan India.

Meski di Malaysia banyak kaum, tetapi pergaulan antar kaum sangat terbatas. Kaum Melayu membuat permukiman sendiri, China dan India juga melakukannya. Besar kemungkinan suatu anggota kaum yang seumur hidupnya tidak pernah berhubungan dengan kaum lainnya.

“Di setiap permukiman mereka membina (membuat, red) sekolah, tempat ibadah, lapangan kerja, dan pasar sendiri. Pergaulan dan pernikahan hanya dilakukan sesama kaum mereka,” jelas Farish.

Ia kagum dengan Indonesia yang mampu membentuk identitas bangsa dengan simbol keanekaragaman. Ribuan suku bisa hidup bersama, walaupun ada konflik antar ras bisa diselesaikan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi dijunjung tinggi. Ia heran dengan perilaku sarjana-sarjana Indonesia yang pulang dari luar negeri justru memelopori terciptanya politik identitas. Mereka tak menyadari politik identitas di negara asalnya sendiri sering kali menjadi biang kerok masalah. (Yossy Suparyo)


Related Posts

Posting Komentar