Tinjauan OpenBTS Dari Kacamata Regulasi

Posting Komentar

Salah satu hal yang menarik mengenai OpenBTS adalah melihat sisi lainnya dalam kacamata regulasi serta tataran praktis yang mungkin dilakukan. Seperti yang diketahui, dalam regulasi telekomunikasi secara umum diatur beberapa masalah yang mendasar:

  1. Pemisahan antara jenis infrastruktur dan layanan
  2. Ketentuan mengenai penyelenggaraan (lisensi, hak labuh dll.)
  3. Pengelolaan sumber daya (frekuensi, penomoran, hak lintas dll.)
  4. Aspek standar teknologi dan type approval peralatan (sertifikasi)
  5. Tata kelola pembinaan, hak, kewajiban, reward, punishment dll.
  6. Praktek dan kewajiban bisnis tarif, pajak, PNBP, interkoneksi dll.
  7. Telekomunikasi khusus, kewajiban layanan universal, hal yang dilarang, pengamanan, perlindungan konsumen/pengguna dll.

Namun dalam kondisi tertentu, misalnya dalam keadaan marabahaya ataupun bencana alam ada kemungkinan terjadi suatu kondisi dimana secara umum infrastruktur dan layanan telekomunikasi lumpuh ataupun tidak tersedia. Sehingga aspek penyelenggaraan, pemanfaatan sumber daya bahkan penggunaan teknologi secara khusus sangat mungkin dapat diabaikan untuk sementara waktu demi untuk memenuhi aspek kemanusiaan yang lebih utama. Bahkan pengecualian ini tidak terbatas pada masalah penyelenggaraan saja melainkan juga menyangkut aspek kewajiban seperti pembayaran, pajak, sertifikasi perangkat dan hingga interkoneksi. Pada prinsipnya ketentuan terkait dapat dibebaskan sesuai dengan tercantum di dalam Pasal 20 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:

Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :

a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam; marabahaya;
d. dan atau wabah penyakit.

Artinya, dalam kondisi darurat semacam itu siapa saja yang mampu menyelenggarakan infrastruktur dan layanan telekomunikasi wajib diberikan prioritas dan keleluasaan tanpa harus memenuhi ketentuan umum yang berlaku seperti misalnya harus memiliki izin, menggunakan perangkat yang telah disertifikasi, bekerja di frekuensi yang telah ditentukan bahkan bisa menggunakan teknologi yang mungkin belum diterima atau diadopsi oleh peraturan yang berlaku bahkan mungkin termasuk yang dilarang untuk digunakan pada kondisi normal.

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa teknologi khusus seringkali digunakan dan dapat menjadi solusi tepat guna untuk mengatasi kondisi darurat namun pada kenyataannya harus berhadapan dengan kondisi eksisting. Misalnya salah satunya adalah karena bertabrakan kepentingan dan atau mengganggu keberlangsungan layanan secara teknis serta keberadaan penyelenggara dan pengguna telekomunikasi lainnya.

Akan tetapi praktek semacam ini sepatutnya tetap dapat dikoordinasikan melalui kesepahaman dengan pihak regulator justru agar keleluasaan tersebut dapat diperoleh secara sah dan mendapatkan dukungan resmi. Tidak jarang inisiatif penyelenggaraan infrastruktur dan layanan telekomunikasi kedaruratan di lapangan pada akhirnya justru dipayungi dan difasilitasi oleh regulator. Misalnya pengalaman Yayasan AirPutih di Aceh dan Nias pihak Ditjen Postel ketika itu membantu memberikan lisensi terbatas sehingga dapat memanfaatkan solusi teknologi VSAT Ku-Band, frekuensi 5.8 Ghz dan teknologi Pre WiMAX yang ketika itu belum diijinkan untuk diterapkan di Indonesia. Yayasan Airputih yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyelenggara infrastruktur dan juga layanan telekomunikasi menurut peraturan perundangan yang ada justru menjadi satu-satunya inisiatif yang mampu memenuhi kebutuhan akses Internet dan telekomunkasi. Bahkan Yayasan AirPutih juga dibebaskan untuk menyelenggarakan komunikasi radio pada frekuensi amatir ORARI maupun RAPI dan juga siaran radio komunitas. Kepada para penyelenggara eksisting pihak regulator justru menerapkan radio silent demi untuk memprioritaskan inisiatif kebencanaan ini hingga jangka waktu tertentu sesuai amanat Pasal 20 UU 36/1999.

Pengalaman Yayasan AirPutih selanjutnya di dalam optimalisasi pemanfaatan ICT dan eksplorasi teknologi baru di dalam situasi kebencanaan, kedaruratan dan kondisi khusus (seperti pra perdamaian Aceh) ternyata dapat terus difasilitasi oleh regulator. Salah satunya adalah ketika Yayasan AirPutih mempergunakan layanan short code SMS 9731 yang diselenggarakan lewat gateway milik sendiri. Pihak regulator mewajibakan semua operator untuk mengalokasikan sumber daya dan membuka interkoneksi terhadap layanan ini demi untuk mendukung operasi kemanusiaan dengan tanpa biaya baik untuk Yayasan AirPutih selaku penyelenggara maupun para pengguna. Ini diulangi kembali ketika terjadi bencana gempa di Jogja, Bengkulu, Pangandaran, Padang dll.

Hal yang sama semestinya juga dapat diterapkan untuk pemanfaatan teknologi baru OpenBTS yang saat ini sedang dieksplorasi oleh Tim Yayasan AirPutih. Pada dasarnya OpenBTS adalah solusi untuk memberikan layanan berbasis teknologi selular (voice, SMS dan data) secara terbuka (tidak tergantung pada salah satu operator). Secara prinsip apabila dipandang dari segi regulasi dalam kondisi normal pmaka OpenBTS adalah stasiun selular tidak resmi yang seharusnya dilarang karena akan mengganggu infrastruktur dan layanan komersial yang telah berjalan. Akan tetapi dalam kondisi darurat misalnya di daerah bencana dimana layanan selular lumpuh atau kapasitasnya terbatas (tidak memadai seperti terjadi di Wasior dan Mentawai) maupun karena lokasi tersebut belum terjangkau oleh operator, maka OpenBTS akan menjadi solusi bagi setiap inisiatif kemanusiaan yang sedang bekerja tanpa mereka harus mengubah atau menggunakan teknologi lain yang memberatkan, terbatas kemampuannya dan mahal misalnya telepon satelit. Artinya dengan teknologi selular yang sama dengan yang mereka pergunakan selama ini sehari-hari dapat tetap dipergunakan di lokasi berkat OpenBTS.

Apabila teknologi OpenBTS ini nantinya siap untuk diterapkan di lapangan maka Yayasan Airputih berencana untuk menyampaikan pemberitahuan sekaligus permohonan ijin kepada Kementerian Komunikasi & Informatika agar diberikan dukungan serta ijin khusus dalam hal:

  1. Sebagai penyelenggara infrastruktur dan layanan telekomunikasi darurat berbasis selular dan internet di lokasi bencana
  2. Memanfaatkan teknologi, frekuensi dan perangkat selular dan internet
  3. Melakukan terminasi dan interkoneksi kepada penyelenggara ITKP
  4. Dibebaskan dari segala kewajiban sertifikasi, pembayaran pajak, PNBP
  5. Meningkatkan daya pancar dan jangkauan layanan termasuk penyebaran.

Asalkan masih dalam situasi yang memenuhi definisi Pasal 20 UU 36/1999 maka pada prinsipnya inisiatif infrastruktur dan layanan seperti OpenBTS dapat diselenggarakan oleh siapa saja.

Ada beberapa pertanyaan dari beberapa pihak yang menjadi topik diskusi kami, yaitu tentang OpenBTS yang memiliki kesempatan “bersaing” dengan operator telekomunikasi atau tentang kemungkinan OpenBTS untuk mempengaruhi harga telekomunikasi di Indonesia agar lebih murah. Dari hasil diskusi tersebut kami menyimpulkan, jika OpenBTS diarahkan untuk menurunkan harga operator sepertinya kurang relevan

Pertama, kecenderungan tarif telekomunikasi sudah sangat murah dan akan semakin rendah karena tingkat persaingan antar operator yang tinggi (jumlah operator yang sangat banyak – 11 perusahaan dan perang promosi), daya beli yang sesungguhnya relatif tetap tidak meningkat selama bertahun-tahun (indikatornya margin ARPU yang semakin tipis) dan pergeseran revenue based yang semula berasal dari basic services (voice, SMS) kini telah semakin beralih ke value added (data, aplikasi premium seperti RBT dll.).

Kedua, layanan OpenBTS akan selamanya bersifat darurat dan tidak akan bisa diimplementasikan diluar dari kondisi tersebut misalnya dialihkan untuk solusi USO karena akan berbenturan dengan implementasi operator secara langsung. Sehingga layanan OpenBTS tersebut akan cenderung gratis dan bersifat charity sehingga tidak mungkin lebih murah lagi karena biayanya sudah NOL. Walaupun terminasi OpenBTS ke penyelenggara ITKP membuka peluang akses two step dial SLJJ dan SLI yang mem-by-pass layanan operator akan tetapi prinsipnya aplikasi tersebut memang sudah bebas biaya.

Ketiga, apabila layanan OpenBTS kemudian “diselewengkan” di dalam kondisi normal (bukan konteks kebencanaan) semata untuk kepentingan komersial memberikan alternatif jalur akses layanan ITKP (SLJJ dan SLI) gelap, ini justru akan kontraproduktif bagi pengembangan inisiatif kemanusiaan non profit memanfaatkan teknologi ini karena mungkin saja kemudian regulator melarang keberadaannya. Sebagaimana seperti layanan gateway GSM/CDMA gelap yang selama ini telah berlangsung di tengah masyarakat.

Penulis: M. Salahuddien, Ketua Dewan Pembina Yayasan AirPutih, Wakil Ketua ID-SIRTII


Related Posts

Posting Komentar